Sabtu, 14 Juli 2012

Analisis Unsur Feminisme Novel Sitti Nurbaya


BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang  
Makalah ini penulis hasilkan karna merupakan salah satu bentuk tugas wajib bagi penulis yang sedang menjalani Proses perkuliahan Telaah Prosa Indonesia. Rasa cinta dan keingin tahuan penulis tentang prosa fiksi kususnya novel Sitti Nurbaya, yang mulai dari terbitnya pada tahun 1922 sampai pada saat ini masih mendunia dikalangan pencinta prosa fiksi. Karena baik alur, latar dan tema, dapat dituangkan penulis kedalam karyanya, dengan bahasa yang mampu memikat dan menarik pembaca. Dan pesan  moral yang disampaikan Marah Rusli dalam novel ini sangatlah tergambar secara jelas dalam karya yang dihasilkannya, Unsur Feminisme yang disampaikan secara jelas oleh para tokoh yang digambarkan dalam karyanya.
Sasrta adalah bentuk hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya dan bersifat imajinatif. ( Semi,1984:2)
B.     Identifikasi Masalah
Karya sastra dibangun oleh unsur intrinsic daan ekstrinsiknya. Untuk intrinsic yaitu unsur yang berada dalam karya sasta itu sendiri, misalnya struktur penceritaan (alur), perwatakan, latar, tema, gaya bahasa dan amanat, unsur ekstrinsiknya yaitu segala macam yang berada di luar karya sastra terseebut, misalnya, factor sosial, ekomomi, budaya, sosio-politik, keagamaan dan tata nilai yang di anut masyarakat. Dan unsur feminism yang terkandung dalam novel.
C.    Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas penulis membatasi masalah unsur Feminisme, dalam novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli

D.    Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah rumusan masalah dalam novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli  adalah 1) bagaimanakah peran tiap tokoh  dalam novel Siti Nurbaya,  dalam memperjuangkan Feminisme 2) bagaimana sikap setiap tokoh terhadap feminisme..
E.     Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penelitian ini bertujuan mengetahui mengetahui dan mendeskripsikan unsur Feminisme yang terdapat dalam novel Siti Nurbaya Karya Marah Rusli.
F.     Manfaat Penelitian
Analisis ini diharapkan data bermanfaat bagi berbagai pihak antara lain 1) bagi guru Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai media pembelajaran untuk meningkatkan apresiasi sastra siswa. 2) pembaca dapat menambah pengetahuaan mengenai unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra, kususnya novel, hingga pembaca dapat memaknai sebuah novel dengan baik. 3) penulis sendiri, untuk dapat meningkatkan penetahuan dalam menganalisis karya sastra khususnya mengenai struktur dalam (Unsur Intrinsik). 4) peneliti lain, dapat dijadikan acuan untuk melakukan penelitian.


Bab II
Hasil Analisis Novel Sitti Nurbaya
Prasaangka gender dan emansipasi wanita
            Prasangka gender  ditimbulkan oleh anggapan yang salah kaprah terhadap jenis kelamin dan gender. Apa yang disebut gender karena dikontruksi secara sosial budaya dianggap sebagai kodrat tuhan (fakih, 1997:10-11). Gender itu bukanlah cipaan tuhan tetapi hanya ciptaan masyarakat. Masyarakat berprasangka bahwa dibalik jenis kelamin ada gender dan ternyata prasangka itu berbeda pada masyarakat disuatu tempat dengan masyarakat ditempat lain. Pada  masyarakat Sitti Nurbaya, yang dianggap kodrat perempuan, selain mengandung dan menyusui anak, adalah tugas mengurus rumah tangga (mengatur makanan, pakaian dan lain-lain) dan mengasuh (memelihara, membesarkan, dan mendidik).
            Secara otomatis perempuan diposisikan pada tugan-tugas domestic. Laki-lakipun baik suami maupun anak, tidak dibolehkan ikut campur dalam pekerjaan domestic karena mereka mempunyai tempat bekerja sendiri, yaitu tugas-tugas public (mencari nafkah diluar rumah).
            Pekerjaan public ternyata lebih bergengsi daripada pekerjaan domestikdan hal inilah yang menyebabkan sifat superioritas kaum lakilaki terhadap kaum perempuan.pembagian tugas itu sesungguhnya bukan kodrat tuhan, tetapi hanya merupakan kontroksisosial budaya yang telah berjalan lama. Menurut worsley (1992:136), dominasi laki-laki didalam masyarakat sudah terjadi sejak sejarah mulai dicatat, lebih jauhlagi kebelakang dibandingkan dengan timbulnya masyarakat industrial modernnya yang boleh dikatakan baru dibelakang ini saja.
            Jenis kelamin, seperti usia atau warna kulit, adalah suatu sandangan alami dan biasanya mudah dilihat. Masyarakat Sitti Nurbaya telah membesar-besaakannya secara  cultural sampai jauh melebihi “anugrah lain” apa pun dalam bentuk biologisnya. Menurut barker daab allen (worsley, 1992:138), perbedaan-perbedaan biologis atas jenis kelamin telah dialihkan menjadi perbedaan- perbedaan sosial atas golongan kelamin.
            Karena kelas perempuan dianggap lebih rendah dari pada kelas laki-laki dan han ya mampu mengerjakna domestic, perempuan tidak dibolehkan menuntut ilmu tinggi-tinggi dan bekerja diluar rumah sebagai laki-laki. Anehnya, pikiran semaacam ini dimiliki pula oleh samsul bahri, orang yang mendukung emansipasi wanita dan pembaharuan adat.
            Berikut ini adalah bagian dari pendapat Samsulbahri yang mengandung prasangka gender dan yang menunjukkan ketakutan laki-laki terhadap “Peran Bairu” kaum perempuan.
            “Sebuah lagi yang tak dapat kubenarkan pikiran perempuan dewasa ini, yaitu hendak menjabat pekerjaan laki-laki dan bekerja sebagai laki-laki. Kalau sekalian perempuan berbuat demikian,mengurus rumah tangga dan menjaga anak? Berbalik hujan kelangit.” (Marah Rusli, 1922:286)
            Prasangka gender menjadi semakin mapan karena dilembagakan oleh adat kuno yang telah berjalan turun-menurun. Adat memandang perempuan sebagai makhluk yang rendah derajatnya daripada laki-laki. Masyarakat yang beragama islam menafsirkan agama berdasarkan adatnya masyarakat Sitti Nurbaya yang merupakan masyarakat muslim menganggap bahwa perempuan merupakan budak.
            Perempuan lemah karena menstruasi, mengnadung, melahirkan, daan menyusui anak tanpa mendapatkan kesempatan untuk beristirahat atau memulihkan kesehatanya menstruasi juga sering dipandang sebagai salah satu factor penghambat partisipasi perempuan dalam kehdupan sosial. Secara fisik perempuan kurang bertenaga dibandingkan dengan kebanyakaan laki-laki.
            Perempuan bodoh karena tidak mendapat kesempatan untuk menuntut ilmu. Orang tua kwatir bahwa jika anak perempuannya pandai membaca dan menulis , akan menjadi jahat. Wosley (1992:140) menyatakan bahwa kekurangan intelektualitas kaum perempuaan merupakan akibat dari keterkekangan kehidupan mereka dan keterbatasan kehidupan mereka dan keterbatasan pendidikan formalnya.
            Perempuan miskin karena hanya diperolehkan bekerja pada sector domestik (rumah tangga) seperti memasak, mengurus rumah tangga, dan mengasuh anak. Perempuan sangat dirugikan oleh stereotype yang dilekatkan pada dirinya ini . Worsley (1992 : 142) menyebut hal ini sebagai domestisitas paksa.
            Teori sosiologi belakangan ini menghubungkan dua- dunia rumah tangga dan dunia kerja- ke dalam suatu  struktur teoritis tunggal dengan memperlihatkan bahwa keduannya  merupakan bagian dari suatu sistem sosial dan ekonomi secara menyeluruh. Teori fungsionalis kemudian membedakan antara masyarakat industrial dan masyarakat petani. Keluarga dalam masyarakat industrial dipadang sebagai suatu unit konsumsi saja dan perempuan dianggap sebagai penyedian kebutuhan nonekonemik (worsley,1992 : 143).
            Mayarakat Sitti Nurbaya dapat disejajarkan dengan masyarakat industrial. Mata pencaharian yang tercantum adalah perniagaan, jasa (pembantu, petugas penyebrangan, dukun dan lain-lain) dan pegawai pemerintahan. Kaum perempuan tidak berperan dalam sektor  tersebut. Mereka ditempatkan dalam rumah tangga tanpa mendapatkan upah. Oleh karena itu, posisi mereka sangat tergantung pada laki-laki. Seandainya perempuan diberi kebebasan untuk bekerja disektor public (kerja upahan) sebagaimana perempuan- perempuan inggris (worsley, 1992 : 143-144), posisi mereka tidak akan termajinalkan, bahkan secara ekonomis tidak dapat dikesampingkan pada kebanyakan keluarga.
Prasangka gender melahirkan sebuah ketidak adilan yang termanifestasikan kedalam bentuk marjinalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinasi atau tidak doprioritaskan dalam pengambilan keputusan politik, beban kerja yang lebih berat  (lebih panjang waktnya dan lebihh banyak jumlahnya), kekerasan terhadap perempuan, pembentukan streotipe atau pelabelan negative, dan sosialisasi idiologi nilai peran gender. Perempuan adalah makhluk lemah dana hina. Oleh karena itu, peran perempun dalam masyarakat tidak dihargai, bahakan tidak diberi sama sekali peran. Pendidikan pun menyubordinasikanya sehinnga perempuan itu dianggab selalu bodoh dari laki-laki. Karena bodoh, perempuan mudah diperalat dan dianiaya oleh laki-laki (suami dan masyarakat laki-laki).
            Sistem pelapisan sosial yang dikenal selama ini adalah sistem pelapisan laki-laki. Tempat seseorang perempuan dalam masyarakat dianggab bahwa perempuan hanya tergantung pada posisi suami atau ayahnya (Worsley, 1992:135-136). Bahkan, dalam masyarakat matrilinear, seperti pada novel Sitti Nurbaya, yaitu masyrakat yang menyelusuri keturunan dari garis ibu, bagaimanapun tetaplah kaum laki-laki yang menjadi pemimpin kunci dalam kegiatan urusan umum. Dalam masyarakat Sitti Nurbaya, sepertihalnya dalam suku yao dimalawi, laki-laki tertua dalam garis keturunan mengelola urusan kelompok saudari-saudarinya (Worsley,1992:137) peran mereka dalam kehidupan politik hukm dan keagamaan selalu dibawah laki-laki (wosley,1992:138).
            Disalam novel Sitti Nurbaya Gejal ketidak adilan ini terjadi dalam berbagai aspek kehidupan. karena distereotiekan sebagai makhluk yang lemah, perempuan dikontrol sedemikian rupa oleh anggota keluarganya, terutama orang tua dan mamak. Kaum perempuan dibatasi pergaulannya, setelah berumur 7  tahun dipingit, dan hanya diperbolehkan, bahkan dipaksa, mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Perempuan tidak dapat bekerja diluar rumah sebagaimana kaum laki-laki. Oleh karena itu perempuan lebih miskin dari pada kaum laki-laki. Bahkan perempuan sangat tergantung pada kaum laki-laki. Walaupun ada perempuan yang bekerja diluar rumah gajinya tak sebanding dengan laki-laki (hlm.235). Perempun yang bodoh, dalam arti tidak berpendidikan,cendrung bersifat fasif dan menyerah saja pada kemauan orang tua. Tampak pada tokoh rukiah. Rukiah adalah perempuan muda yang menjadi korban penanaman ideology para gender yang tidak adil. Menurut Putri Rubiah kejahatan bukan disebabkan oleh Tabiat, melainkan gender.
            Lain rukiah, lain pula Sitti Nurbaya, Nurbaya menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki, baik dirumah maupun diluar rumah. Dirumah ia dipaksa melayani laki-laki yang tidak mencintainya, Datuk Maringgih. Diluar rumah ia menjadi pelecehan seksual oleh awak kapal dan korban fitnah bekas suaminya. Perkembangan fisiko seksual adalah proses interprestasi sosial atas keadaan biologis (Hidayati/Amal,1995:104).
            Secara psikologis, kekerasan seksual itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Menurut psikoanalisis dorongan seksual merupakan motor tersembunyi atas timbulnya penyaki-penyakit neurotis. Masyarakat budaya mempunyai berbagai peratuaran sosial, seperti norma dan agama , yang menyebabkan manusia tidak dapat secara bebas memuaskan nafsu seksualnya. Nafsu yang tidak sesuai dengan norma dan agama akan terdorong kedalam suatu ketidak sadaran yang kemudin menjadi “kompleks terdesak” . kompleks terdesak umumnya menjadi sentrum mengganggu ketenangan batin dan akan selau mencari jalan untuk muncul kedalam kesadaran.
Hukum tidak melindungi hak permpuan. bahkan ketika Sitti Nurbaya terbunuh pun, tidak ada tindakan hukum yang mampu menangkap dan mengadili para pembunuhnya. Tindak kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga itu sengaja ditutupi tutupi seperti dalam percakapan antar Ahmad Maulana dan istrinya berikut ini.
            “Entah mana yang benar, tiada ku ketahui. Tetapi kabar ini tak guna diceritakan pula kepada siapapun; kalau kedengaran oleh polisi, jadi perkara, nanti. Bukannya kita boleh terbawa-bawa saja, bukanlah kita terbawa-bawa saja , tetapi kalau sampai Sutan Hamzah terhukum, bermusuh-musuhanlah kita dengan penghulu Sutan Mahmud. Dan  lagi apakah jadinya dengan anaknya yang masih-masih kecil itu pula, ibu mati bapak terbuang.”
            “Masakan hamba gila, membukakan rahasia ini,”jawab Fatimah. (Marah Rusli, 1922:192)
            Berbagai kasus pelanggaran hukum menjadi menarik jika dihubungkan dengan pernyataan wiyati-wiratnosoekito (1989:76) tentang tugas hukum. Menurut ajaran romawi, hukum mempunyai tiga tugas yaitu: (1) menyelengggarakan taraf hidup yang layak bagi para warganya ; (2) berusaha agar setiap orang menghormati jiwa raga orang lain;dan (3) berusah agar setiap orang menghormati hak orang lain. Dalam mencipatakan keadilan seharusnya tidak membeda-bedakan laik-laki dan perempuan.
            Karena adat yang melestarikan prasangka gender itu sangat merugikan perempuan, timbullah penentangan terhadap adat kuno dari kalangan tokoh perempuan terdidik atau tokoh laki-laki yang sadarakan ketidak adilan tersebut. Emansipasi wanita pada umumnya merupakan embrio feminism, yaitu kelompok atau gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan (djayanegara, 1995:16; geofe, 1986:837; moeliono, dkk,1993: 241). Tokoh perempuan , diantaranya adalah Sitti Nurbaya dan Halimah, mengharapkan penghargaan dari laki-laki.
            Perempuan pada zaman Sitti Nurbaya tidak menuntut disamakan benar-benar dalam segala hal dengan laki-laki. Mereka menyadari bahwa menjadi benar-benar sama tidak mungkin terjadi. Perempuan jangan dianggap sebagai budak atau mahkluk yang hina. Perempuan harus diberi kebebasan dan kesempatan untuk menambah pengetahuan, menajamkan otak, mengeluakan pendapat, dan menguasai apa yang harus dikuasainya seperti pernyataan tokoh Sitti Nurbaya kepada Halimah berikut ini.
            Jadi, feminimisme didalam novel Sitti Nurbaya barulah sebatas ide dan hanya merupakan gerakan individual. Gerakan emansipasi mereka dan feminimisme yang dilontarkan oleh Sitti Nurbaya dan tokoh-tokoh pendukungnya belum berhasil mengubah masyarakat. Apa yang dialami Sitti Nurbaya pada dasarnya serupa dengan nasip kartini yang berjuang seorang diri dan hanya menuai suatu “pilihan paksa” (wahyuni, 1997:17). Keberhasilan dalam mengejarcita-cita justru dialami oleh tokoh-tokoh bawahan, arifin dan bahktiar, yang tidak mendapatkan gangguan dalam kehidupan.
Riwayat Hidup Sitti Nurbaya dan Ide Emansipasinya
Tokoh Sitti Nurbaya merupakan contoh anak perempuan yang mengalami kebebasan pada masa kanak-kanak sampai remaja, sesuatu yang sulit didapatkan kaum perempuan pada waktu itu. Biasanya anak perempuan diberi kebebasan pada usia kanak-kanak sampai pada usia tujuh atau delapan tahun saja, setelah itu anak perempuan dikurung didalam rumah dan dibebani kewajiban mengatur rumah tangga . sejak kecil mereka sudah dilatih untuk mengurus rumah tangga agar setelah samapai masanya berkeluarga kelak dia tidak canggung lagi. Dapat kita lihat pada kutipan berikut:
“Setelah sejurus terhenti, berkata pula ia, “hal yang kedua yang menyebabkan kita lebih lemah dan kebih kurang tajam pikiran kita dari pada laki-laki ialah pemeliharan, pekerjaan dan kewajiban kita. Tentang pemeliharaan kita, sejak kita mulai pandai berjalan sampai kita berumur enam tujuh tahun sajalah kita boleh dikatakan bebas sedikit, boleh berjalan-jalan kesana kemari boleh bermain-main keluar rumah. Itulah waktu yang sangat mulia bagi kita, waktu kita berbesar hati, walau kita merasa bebas sudah itu sampai kepada hari tua kita, tiadalah lain kehidupan kita melainkan dari rumah kedapur, dan dari dapur kembali pula ke rumah. (Marah Rusli, 1922: 246)
Namun kebiasaan itu tidak berlaku bagi Sitti Nurbaya. Ia tidak dikurung dan dipaksa berlatih mengurus rumah tangga ayahnya bahkan menyekolahkannya di sekolah Belanda pasar Ambacang satu sekolah dengan Samsulbahri, Arifin, Bachtiar, dan anak anak Eropa. Sitti Nurbaya juga diberi kebebasan bergaul dengan teman laki-laki misalnya pada hari minggu ia berjalan ke Gunung Padang bersama teman-teman sekolahnya tanpa dikawal oleh anggota keluarganya, yang diceritakan pada bagian ke tiga. Hal itu tentu membahagiakan Sitti Nurbaya. Bertambah-tambah pula kebahagiaannya karena ia adalah anak orang kaya sehingga segala kebutuhannya tercukupi.    
Keadaan yang serba berkecukupan ternyata tidak membuat  Siti Nurbaya terlena atau cukup puas dengan apa yang dimilikinya.Ia menyadari bahwa kaum perempuan dianggap kurang penting dari pada laki-laki sehingga hal inilah yang mengundang keprihatinannya. Oleh karena itu ketika ada anak yang lebih menyayangi ayahnya dari pada ibunya pasti diprotes oleh Sitti Nurbaya. Menurutnya sayang seorang ayah kepada anak ada batasnya, sedangkan sayang seorang ibu kepada anak tidak ada batasnya.
Pernyataan Sitti Nurbaya didepan Bchtiar dan kawan-kawannya itu dipicu oleh Pribahasa bagai makan buah Simalakamo, dimakan mati bapak tidak dimakan mati Mak. Bakhtiar memilih tidak memakan berarti merelakan ibunya meninggal alasannya dapat kita lihat pada kutipan berikut:
“Bukan begitu, Nur, “jawab Bahchtiar, “ kalau perkara sayang, tentu aku lebih sayang kepada ibuku dari pada kepadaa ayahku, sebab ibuku suka memberi aku kue-kue, tetapi ayahku selalu member aku tempeleng. Dan pada dasarnya kue lebih enak dari pada tempeleng. Tapi kalau ayahku mati, ibu tak dapat mencari kehidupan sebagai ayahku. Betul ia boleh bersuami pula, tapi masakan ayah tiriku akan sayang padaku seperti ayah kandungku. Jadi bagaimanakah hal ku kelak? Dapatkah juga aku akan meneruskan pelajaranku?” (Marah Rusli, 1922 39)  
 Alasan yang dikemukakan Bachtiar itu didasari oleh prasangka gender. Karena ayahnya dapat mencari nafkah apabila ayah mati maka masa depan istri dan anak akan suram.Pendapat ini didasarkan pada asumsi bahwa pendapatan perempuan dalam rumah tangga diremehkan.
Siti Nurbaya menentang pendapat Bachtiar tersebut menurutnya meskipun tidak bekerja, perannya dapat memberikan kasih sayang kepada anaknya sehingga mereka tidak perlu diremehkan.
 Namun, telah dikemukakan diatas emansipasi perempuan yang dijelaskan oleh tokoh Sitti Nurbaya tidak sama dengan feminisme pada masa sekarang. Didalam ide emansipasi nya tersembunyi juga prasangka gendernya misalnya Sitti Nurbaya tidak hanya akan menjadi Bu Syamsulbahri tetapi juga sebagai Bu Dokter.
Prasangka gender  juga ada tampak pada cita-citanya apabila anaknya laki-laki ia berharap anaknya menjadi dokter sedangkan jika anaknya perempuan ia akan diajarkan segala ilmu supaya perempuan tersebut berguna bagi suaminya. Berarti tokoh Sitti Nurbaya belum mampu menjelaskan diri dari dikotomi domestik publik dan nature-culture
Karena perempuan dibatasi dibatasi dalam konteks domestick Karena kegiatan utama mereka adalah keluarga dengan kata lain Tokoh Sitti Nurbaya mengidentifikasikan laki-laki sebagai masyarakat dan kepentingan umum. Selain itu Sitti Nurbaya bercita-cita untuk tidak memberikan otonomi sepenuhnya kepada anak perempuan.
Dalam hal tersebut terlihat bahwa angan-angan tokoh Sitti Nurbaya sama dengan pendapat Muthahhari (1995:40) bahwa gerakan fenimisme tidak perlu menyingkirkan penghormatan anak perempuan kepada ayahnya dan penghormatan istri kepada suaminya. Namun pekerjaan hanya  cocok bagi laki-laki sedangkan ilmu dan pekerjaan cocok bagi perempuan sehingga angan-angan tersebut tidak sesuai muthahhari dan feminis pada umumnya.
 Dalam hal ini masa hidup Sitti Nurbaya dibagi menjadi dua yaitu: Pembagian ilmu dan pekerjaan itu terjadi ketika Siti Nurbaya masih menjalani masa romantis sedangkan  masa realistis Sitti Nurbaya mengoreksi angan-angan nya itu. Dan ia juga mengatakan bahwa pekerjaan mengurus rumah bukan permintaan tetapi terpaksa dilakukan untuk kepentingan laki-laki.
 Protes Sitti Nurbaya terhadap pemberian tugas yang tidak adil terhadap kaum perempuan kesadaran diri karena perempuan adalah makluk yang berdiri sendiri  dan Sitti Nurbaya berpendapat bahwa seharusnya perempuan mempunyai kemampuan untuk membangun dirinya menuju taraf yang lebih tinggi.
Meskipun masih mengandung prasangka gender pikiran Siti Nurbaya lebih maju dari masyarakat. Karena masyarakat beranggapan bahwa perempuan sebagai budak laki-laki dan perempuan yang berharga patut dinikahi dengan bangsawan.
Tokoh Siti Nurbaya mempunyai pasangan yang sangat ideal menurut Baginda Sulaiman yaitu Samsulbahri. Bukan hanya pasangan dalam persahabatan melainkan Syamsulbahri juga pasangan dalam penanaman ide emansipasi perempuan dan feminisme. Karena kejahatan Datuk Maringgih mengandaskan harapan mereka untuk berumah tangga, sebab Sitti Nurbaya telah dijadikan jaminan pembayaran hutang oleh Datuk Maringgi. Dapat kita lihat pada kutipan berikut:
Nurbaya, sekali-sekali aku tiada berbiat hendak memaksa engkau. Jika tak sudi engkau, sudahlah; tak mengapa biarlah harta yang masih ada ini hilang. Ataupun aku masuk penjara sekalipun, asal  jangan bertambah tambah pula pula duka citamu. Pada pikiranku tiadalah akan akan sampai dipenjarakannya aku; mungkin masih boleh ia dibujuk. Sesungguhnya aku lebih suka mati dari pada memaksa engkau kawin dengan orang yang tiada engkau sukai; dan jika aku tiada ingat dengan engkau dan tiada tajut akan Tuhanku, niscaya telah lama tak ada lagi aku dalam dunia ini.” ( Marah Rusli, 1922: 137)
Pernyataan tersebut telah ditegaskan bahwa Baginda Sulaiman bukanlah orang tua yang otoriter  yang setuju dengan kawin paksa tapi semua keputusan diserahkan kepada Sitti Nurbaya sendiri kesediaan tersebut semata-mata karena kasih sayang kepada ayahnya. Karena tujuannya ingin menolong ayahnya agar tidak dipenjara tapi ia sendiri yang menderita.
Pernikahannya dengan Datuk Maringgih memberikan pengalaman tersendiri bagi Sitti Nurbaya walaupun pahit dirasakannya yaitu pengalaman rumah tangga yang tidak harmonis dan tidak didasari rasa cinta tetapi didahului oleh rasa permusuhan dan kebencian. Datuk Maringgih menikahi Siti Nurbaya karena hawa nafsu saja sedangkan Siti Nurbaya karena ikatan hutang ayahnya.
Pengalaman pahit tersebut ternyata dapat mengembangkan pikiran emansipasi perempuan karena perkawinanan tanpa didasari cinta akan mendatangkan bencana. Dan Sitti Nurbaya menyarankan agar anak perempuan tidak dipaksa kawin dengan laki-laki yang tidak disukainya.
Berkenaan dengan pemilihan jodoh Sitti Nurbaya menganut paham homogami yaitu ikatan perkawinan berdasarkan persamaan ciri-ciri tertentu secara sadar atau tidak sadar seseorang memilih jodohnya yang memiliki persamaan karakteristik dengan dirinya yang dapat melengkapi kekurangannya hal tersebut dilakukan oleh anak sehingga orang tua akan kesulitan mengetahui jodoh yang diinginkan anaknya.
Perkawinan sering dinyatakan suatu hal yang penting dan tidak boleh diremehkan. Seseorang melangsungkan perkawinan dengan tujuan untuk hidup bahagia dengan pribadi yang dicintai. Melalui perkawinan orang ingin mendapatkan pengalaman hidup baru bersama-sama dengan seseorang. Kebahagian berumah tangga akan tercapai apabila laki-laki dan perempuan dapat sesuai dengan segala hal.
Di lain pihak suami harus bisa mampu membimbing anak dan istrinya agar betah tinggal dirumah dengan menyediakan segala hal yang dapat menghibur dan menyenangkan hati si istri. Inilah keseimbangan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan menurut Siti Nurbaya dan Syamsulbahri yang penting disini adalah bagaimana cara pembagian tugas secara adil dan dapat diterima dua belah pihak.
Karena idealitas rumah tangga seperti yang digambar tersebut tidak tercapai Sitti Nurbaya menumpahkan perasaannya kepada Syamsulbahri kekasihnya. Syamsulbahri  berjanji akan mencari cara untuk melepaskan Siti Nurbaya dari Datuk Maringgih. Rencana tokoh Sitti Nurbaya dan Syamsulbahri merupakan perilaku negatif sedangkan kalau dilihat dari segi feminisme rencana tersebut adalah positif karena upaya pembebasan diri dari penindasan laki-laki.
Akibat perkelahian tersebut Sutan Mahmud tega mengusir Syamsulbahri sedangkan Baginda Sulaiman melihat perkelahian tersebut terjatuh hingga menemui ajal dan Sitti Nurbaya marah kepada Datuk Maringgih karena ayah yang dibelanya telah meninggal.
Sepeninggalan ayahnya Sitti Nurbaya tinggal dirumah sepupunya di saat itu kaki tangan Datuk Maringgih memata-matai ketika Siti Nurbaya berlayar keJakarta diatas kapal ada gangguan dari pendekar lima sehingga ia luput dari pembunuhan setelah itu datang lagi gangguan ia dituduh menggelapkan uang Datuk Maringgih sehingga memaksa nya untuk pulang kePadang.
Setelah Siti Nurbaya terbukti tidak bersalah sambil menunggu waktu kembali keJakarta ia tinggal dirumah Alimah pada saat itu keluarga Ahmad mendengar berita itu sehingga mengundang keprihatinan Sitti Nurbaya terhadap nasib perempuan yang diperlakukan tidak adil oleh kaum laki-laki.
Pembicaraan dalam novel Sitti Nurbaya terdapat analisis gender yaitu pencarian sebab-sebab perempuan lebih lemah dari laki-laki dan keinginan kaum perempuan untuk melepaskan diri dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah serta agar perempuan diberi kebebasan untuk memajukan dirinya dan supaya laki-laki menghargai kaum perempuan selain itu ada jugaide fenimisme yaitu gerakan perempuan agar mendapat kedudukan yang setara dengan laki-laki dalam segala bidang.
Percakapan itu ternyata merupakan kesempatan terakhir bagi Sitti Nurbaya yang ingin mengemukakan gagasan emansipasi dan fenimisme karena ia akan meninggal setelah itu akibat keracunan kue lemang yang dijual oleh kaki tangan Datuk Maringgih.
Walaupun Sitti Nurbaya telah meninggal dunia ide emansipasi perempuan tidak ikut mati karena Syamsulbahri yang membawa pikiran itu sepeninggalan Sitti Nurbaya. Meskipun pikiran tersebut mengandung prasangka gender karena perempuan tidak di perkenalkan untuk mempelajari ilmu yang tidak sesuai dengan tugas dan kewajiban dalam rumah tangga.

Tokoh profenisme, Tokoh Kontrafenisme, dan penokohan yang berprasangka Gender.
Pada novel Siti Nurbaya tokoh dan penokohannya  digolongkan menjadi dua: yaitu tokoh profeminis yaitu, tokoh yang memperjuangkan emansipasi perempuan dan tokoh  kontrafeminis yaitu, tokoh yang menentang emansipasi perempuan. Tokoh profenemisme adalah Sitti Nurbaya, Samsul Bahri, Sultan Mahmud, Ahmad Maulana, dan Alimah. Tokoh kontrafeminisme adalah Datuak Maringgih dan  Kaki tangannya, Sutan Hamzah, Putri Rubiah, dan Rukiah.
Fenemisme yang terdapat  dalam Novel Siti Nurbaya  merupakan  feminisme kedaerahan. Menurut Illch (1998:181), kata vernacular berarti  segala sesuatu  yang bersangkutan  buatan rumah, tenunan rumah, ditanam dirumah, dan dimaksudkan untuk diangkat dan dipertukarkan dipasar, atau untuk keperluan rumah itu sendiri.

Tokoh-tokoh Profeminis
Tokoh Profeminis utama yaitu Siti Nurbaya. Rasa emansipasi muncul sebagai protes terhadap ketidak adilan gender yang telah mendarah daging, idenya tersebut tidak radikal. Ia tidak berniat untuk merombak semua system hubungan antara laki-laki dan perempuan. Ia    hanya ingin melakukan pembenahan sampai terbinanya hubungan yang saling menghargai antara kaum laki-laki dan kaum perempuan yang semula hanya dianggap hanya mengurus urusan internal rumah tangga saja. Hubungan yang harmonis dapat diandaikan sebagai hubungan pertemanan bukan hubungan tuan-budak dapat kita lihat pada kutipan berikut ini:
“Bukan hatiku, Lim; memang hal ini sudah ama terfikir oleh ku. Cobalah kau fikir benar-benar nasip kita perempuan ini! Dari tuhan yang bersifat rahman dan rahim, kita telah dikurangkan dari pada laki-laki, teman kita itu. Sengaja k katakana teman kita laki-laki itu, karena sesunguhnyalah demikian walaupun banyak diaantara mereka yang menyangka, mereka itu bukan teman,  melainkan tuan kita dan kita hambanya. Pada prasangka mereka, mereka lebih dari pada kita, tentang kekuatan dan akal mereka. (Marah Rusli, 1922:242) 
Tokoh Siti Nurbaya juga menyoroti masalah perbedaan kecintaan anak terhadap  ayah dan ibu setelah anak dewasa; kadang –kadang  ia tidak mengenal balas budi kepada ibu, bahkan ia sering kali tidak mengakuinya sebagai ibu karena  si ibu hanyalah bangsa perempuan. Hal ini merupakan ’’pengkhianatan’’ terhadap ibu yang telah mengadungandung, melahirkan, menyusui, dan membesarkannya. Sedangkangkan yang sering  berbuat semena –mena  terhadap ibupun adalah anak laki-laki  karena keangkuhannya sebagai laki-laki; sedangkan anak perempuan jarang. Dapat kita lihat pada kutipan berikut ini:
“Ingatlah persaan perempuan yang hamil itu, muntah-muntah, sakit-sakit, tak sedap perasaan badan. Bukanlah sekalian itu penyakit? Oleh sebab kira-kira duabulan setelah kita beranak, kita telah bunting pula, boleh dikatakan, kita hamper selamanya ddalam sakit-sakit. Lihatlah perempuan yang tiap-tiap tahun beranak! Bagaimana halnya? Baddan rusak, lekaas tua, umur pendek. Bagaimana kita dapat meenyamai kekuatan laki-laki, yang boleh dikatakan selalu dalam sehat?” (Marah Rusli,1922:243)
“Dan adakah selamanya baik balasan anak itu kepadda ibunya?” kata Nurbaya. “lebih-lebih anak laki-laki acapkali tak tahu membalas guna. Terkadang-kadang, air susu ibunya dibalas dengan air racun. Bila ia telah beristri, tiaddalah diindahkannya lagi ibunya. Adapula yang tiada hendak mengaku ibulagi kepada maknya, karna ia telah kaya aau berpangkat tinggi malu beribukan perempuan yang biasa sajaa atau perempuan yang bodoh. Dan ada pula yang memukul, memusuhi ddan menyiksa ibunya sendiri. (Marah Rusli, 1922:246)
Tokoh Profenisme setelah Siti Nurbaya yaitu Samsulbahri. Pendapatnya tentang peran kaum perempuan  identik dengan pendapat  Siti Nurbaya. Tentang kehidupan berkeluarga misalnya, ia menghendaki adanya sikap saling menghormati, saling menolong, dan saling membahagiakan antara laki-laki dan perempuan.
Samsulbahri juga setuju pada pemberian pembebasan terhadap anak untuk menentukan jodohnya. Pembenahan hubungan antara orang tua dengan anak merupakan agenda penting gerakan emansipasi perempun dan feminisme karena interaksi anak dan orang tua dalam keluarga merupakan sumber berkembangnya  identitas gender dan peran gender (Saparinah-Sadli dan Soemarti-Patmonodewo,1992:8).
Kesamaan pandangan tersebut terjadi ketika mereka  masih bersama-sama sebagai passangan kekasih. Namun, setelah mereka berpisah, pendapat Samsulbahri cenderung mengarah pada peneguhan prasangka gender. Ia berpendapat bahwa “perempuan tidak perlu menjabat pekerjaan laki-laki, dan mempelajari segala ilmu laki-laki. Menurutnya, perempuan tidak boleh melalaikan kewajiban aslinya, yaitu perkara anak, rumah tangga, dan makanan.
             Jika dibandingkan dengan pendapat para feminis pada masa sekarang, pendapat Samsulbahri masih menyembunyikan prasangka gender. Ia membagi-bagi ilmunya menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu yang harus dipelajari laki-laki, dan ilmu yang harus dipelajari oleh perempuan. Ia juga memposisikan perempuan untuk bekerja dilingkungan rumah tangga (domesticsphere), sedangkan laki-laki dilingkungan luar rumah tangga (public sphere). Jika suami tidak dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga, barulah istri boleh bekerja. Akan tetapi, tugas mengurus rumah tangga harus tetap dikerjakan. Peran ganda tersebut justru semakin memberatkan kaum perempuan apabila suami tidak sudi membantu mengerjakan pekerjaan  rumah tangga (Fakih,1997:75). Perempuan yang mengalami beban ganda dalam bekerja  rumah tangga  dan upahan-jelas menderita tekanan-tekanan yang tidak dirasakan oleh mereka yang tinggal dirumah (Worsley,1992:142).
              Selain bertentangan dengan feminisme mutakhir, juga bertentengan dengan pikiran Siti Nurbaya pernah mengingatkan bahwa mengurus rumah tangga  bukan permintaan atau pesanan perempuan. Pekerjaan itu terpaksa dilakukan oleh perempuan untuk kepentingan  laki-laki. Siti Nurbaya juga iri kepada laki-laki yang diberikan kepandain, keterampilan,dan pekerjaan yang dapat  menguatkan badan dan menajamkan  pikirannya.
            Pendapat Samsulbahri yang mengandung  prasangka gender itu berdasarkan  pada tiga alasan. Pertama, ia tidak dapat menerima adanya keinginan perempuan untuk hidup sendiri-sendiri tanpa manikah dapat kita lihat pada kutipan berikut:
             “Sungguhpun demikian, hidup sendiri-sendiri, bukanlah hidup sejati,” kata mas pula sebagai tak mengindahkan kesukaan hati sahabatnya.” Sebaab perempuan harus bersuami dan laki-laki harus beristri, bukankah kewajiban sekalian makluk yang hidup, mengembangkan bangsanya? Bagaimanakaah akhirnya dunia ini, bila sekalian orang hendak hidup bebas, sebagai engkau?” (Marah Rusli, 1922:285). 
            Kedua, ia mengkawatirkan terjadinya persaingan dan permusuhan antara laki-laki dan perempuan akibat adanya perebutan pekerjaan dan perebutan pengaruh dapat kita lihat pada kutipan berikut ini”
             “Sebuah lagi yang tak dapat kubenarkan pikiran perempuan dewasa in yaitu hendak menjabat pekerjaan laki-laki dan bekerja sebagai laki-laki. Kalau sekalian perempuan berbuat demikian apakah kelak akan pekerjaan laki-laki? Harus kedapurkah mereka, mengurus rumah tangga dan menjaga anak? Berbalik hujan kelangit” (Marah Rusli, 1922:286).
            Ketiga, ia jika perempuan bangsanya dengan membuta tuli meniru semua aturan dan pikiran perempuan Eropa menimbang baik buruknya dan kecocokannya dengan kehidupan bangsanya dapat kita lihat ada kutipan berikut:
            “Aku katakana sekalian itu kepadamu, Yan, sebab sesungguhnya hatiku kawatir perempuan Indonesia ini dengan buta tuli meniru segaala aturan dan pikiran perempuan Eropa, dengan tiada menimbang baik-baik, sebenarnyakah berguna sekalian aturan dan pikiran itu bagi perempuan disini? Pada pikiranku tidak sekalian yang baik bagi perempuan Eropa, baik pula bagi perempuan Indonesia. Ada yang baik disana tak baik disini dan kebalikannya. Ada yangberguna disini ta berguna disana. Yang sesungguhnya baik, ambilah tirulah dan pakailah!” (Marah Rusli, 1922:290)
            Tokoh lain yang berfungsi sebagaimana Samsulbahri adalah Alimah. Ia setuju dengan seluruh pendapat Siti Nurbaya tentang ketidak adilan yang menimpa perempuan. Ketika Siti Nurbaya bercerita tentang susahnya ibu pada waktu mengandung, melahirkan, dan menyusui anak, Alimah memebenarkan adanya penanggungan. Ia dapat memaklumi perasaan dan penanggungan perempuan yang sudah mempunyai anak karena ia sering bercakap-cakap dengan mereka dapat kita lihat pada kutipan berikut;
“Sesungguhnya demikian hal perempuan bangsa kita” jawab Alimah. “Betul aku sendiri belum merasai beranak, tetapi aku acapkali bercakap-cakap dengan perempuan-perempuan yang telah beranak dan menolong mereka oleh sebab itu ku ketahui perasaan dan penanggunggan mereka’. (Marah Rusli, 1922:246)
Ketika Siti Nurbaya mengatakan bahwa salah satu penyebab kelemahan perempuan adalah cara pengasuhan yang berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. Alimah mengatakan bahwa perbedaan itu terletak pada pemiliharaan, pelajaran, kewajiban, dan lain-lain. Dapat kita lihat pada kutipan berikut:
“Pikirankupun demikian juga, Nur” jawab Alimah. “Perbedaan itu adanya karena berlainan pemeliharaan pelajaran, kewajiban, dan lainnya”. (Marah Rusli, 1922:247)
 Selain itu Alimah juga berkata “jika dipikir dalam-dalam, nyatalah kita perempuan ini diperbuat sebagai anak tiri dan laki-laki sebagai anak kandung, sebab sangat diperbedakan. Dan perempuan tiada pula diberi tempat bergantung”. Berarti bahwa terjadinya diskriminasi  perempuan sejak dini yang tragisnya kadang-kadang dilakukkan oleh sang ibu (kaum perempuan) sendiri. Dapat kita lihat pada kutipan berikut:
“Jika dipikir dalam-dalam nyatalah perempuan ini diperbuat sebagai anak tiri dan laki-laki sebagai anak kandung sebab sangat diperbedakan. Dan perempuan tiada pula diberi tempat bergantung” kata Alimah. (Marah Rusli, 1922:248)
         Tokoh tua yang termasuk golongan profemenis adalah Sutan Mahmud, Bagindo Sulaiman, dan Ahmad Maulana. Sutan Mahmud adalah tokoh yang menentang poligami. Menurut ayah Samsulbahri yang pantas beristri banyak adalah binatang.Kalau perempuan hanya boleh bersuami seorang, laki-lakipun  tidak boleh beristri banyak. Oleh karena itu, meskipun berbangsa dan berpangkat tinggi, ia hanya mempunyai seorang istri dapat kita lihat pada kutipan berikut:
             “Pada pikiranku hanya hewan yang banyak bininya, manusia tidak” jawab Sutan Mahmud dengan merah mungkanya. Kalau perempuan tidak boleh bersuami dua tiga, tentu laki-laki tak boleh beristri banyak”. (Marah Rusli, 1922:18).
Baginda Sulaimanpun tidak melakukan poligami. Bahkan, setelah istrinya meninggal dunia, ia tidak kawin lagi, padahal ia kaya raya. Ia memberikan kebebasan pada anaknya untuk bergaul dengan siapaun juga dan menuntut ilmu sebagaimna anak laki-laki.
Ahmad Maulana juga termasuk tokoh tua yang menentang poligami. Poligami itu lebih banyak keburukannya dari pada kebaikannya. Perkawinan mudah putus karena laki-laki dan perempuan tidak dihubungkan dengan cinta, melainkan dengan uang atau harta. Suami tidak boleh bercerai jika tidak ada sebab yang penting. Adanya larangan bahwa perempuan tidak boleh bersekolah, menurut Ahmad Maulana, mempunyai maksud jahat, yaitu agar perempuan bodoh dan selamanya dapat diperbuat oleh laki-laki dapat kita lihat pada kutipan berikut:
“Sebenarnya fikiranku sihat sekali-sekali tiada setuju dengan adat beristri banyak karena terlebih banyak kejahatannnya dari padda kebaikannya,” kata Maulana sambil termenug menghembuskan asap rokoknya. Banyak kecelakaan yang suddah ku dengar dan banyak sengsaranya yang sudah ku lihat dengan mata kepalaku sendiri”. (Marah Rusli, 1922:231)
“Supaya tinggal bodoh dan selama-lamanya menjadi budak laki-laki, bukan? Boleh diperrbuat sekehendak hati; sebagai kerbau, diberi bertali hidungnya, supaya dapat ditarik dan disuruh kemana suka oleh yang mengembalakannya. Jika engkau sendiri, sebaagai seorang perempuan, suka bangsamu diperbuat sedemikian, suka hatimulah! Tetapi kalau aku menjadi perempuan, sekali-kali aku tak mau menerima peratulan ini. (Marah Rusli, 1922:241) 
Tokoh-tokoh Kontrafeminis
            Tokoh kontrafeminis adalah tokoh cerita yang bertentangan paham dan tingkah lakunya dengan tokoh profeminnis. Tokoh pertamanya adalah Datuak Maringgih. Ia adalah orang yang gila uang. Ia kawin cerai berkali-kali, tidak adapat dihitung jumlahnya. Hampir disetiap kampung ada anaknya. Setiap melihat perempuan cantik pasti dipinangnya. Menghabiskan banyak uang tidak apa-apa, asalkan tercapai maksudnya. Dengan uanglah ia memikat hati perempuan. Ia tidak mempunyai daya pikat selain uang, karena rupanya buruk, umurnya telah lanjut, pakainan dan rumahnya kotor, adat dan kelakuannya kasar dan bengis, dan bangsanya pun rendah. Ia tidak mempunyai pangkat dan kepandaian, kecuali kepandaian berdagang dapat kita lihat pada kutipan berikut:
            “Hanya untuk satu perkara saja ia tidak bakhil yaitu untuk perempuan. Berapa kali ia telah kawin dan bercerai tiadalah dapat dibilang hamper dalam tiap-tiap kampong, ada anaknya. Tiada boleh ia melihat perempuan yang cantik rupanya, tentulah dipinangnya. Walaupun ia harus mengeluarkan uang seribu rupiah sekalipun, tiadalah di indahkannya asalkan sampai maksudnya. Kebanyakan perempuan yang jatuh ketangan Datuk Meringgih ini, semata-mata karena uangnya itu juga. Sebab lain dari pada itu, tak ada yang dapat dipandang padanya. Rupanya buruk, umurnya telah lanjut, pakaian ddan rumah tangganya kotor, adat dan kelakuannya kasar, dan bangsanya bengis, bangsanya rendah, pangkat dan kepandaiannyapun tak ada selain dari pada kepandaiian berdagang. (Marah Rusli, 1922:10)
            Tokoh kontrafenisme yang lain adalah Sutan Hamzah.Ia juga termasuk laki-laki yang gemar kawin cerai.  Modalnya untuk menarik hati perempuan adalah kebangsawannya. Bagi orang-orang pemegang adat, kebangsawan merupakan factor penting untuk memperbaiki keturunan. Oleh karena itu banyak perempuan yang suka melamar laki-laki bangsawan. Setiap kali dilamar laki-laaki tersebut mendapatkan uang jemputan yang besar jumlahnya. Hal inilah yang menyebabkan Sutan Hamzah dapat hidup enak tanpa bekerja, sebab setiap habis uangnya, pasti kawin lagi. Pikiran Sutan Hamzah tersebut bertentangan dengan perjuangan feminisme, karena ia hanya menganggap perempuan sebagai mainan, tetapi juga memeras hartanya untuk kesenangan pribadi. Perempuan-perempuan yang mau menjadi istri Sutan Hamzah itu semula menginginkan kebahagian. Dapat kita lihat pada kutipan berikut:
            “Dan apakah sebabnya ia tak mau menerima segala jemputan orang, dan tak suka beristri banyak? Bukankah itu sekaliannya duit saja! Apa bila tiap-tiap kawin, ia beroleh uang jemputan dua ratus atau tiga ratus rupiah, tak perlu ia maakan gaji lagi? Kalau habis duit, kawin lagi. Apakha salahnya dan susahnya beristri dan beranak banyak? karena laki-laki bangsawan tak perrlu memelihara dan membelanjai anak istrinya. Sekaliannya itu tanggungan orang lain. Apa gunanya bangsa dan pangkat yang tinggi, kalau tiada akan beroleh hasil?” (Marah Rusli, 1922:62-63) 
            Tokoh perempuan ternyata ada pula yang berfikiran seperti Sutan Hamzah dan dengan demikian disebut juga tokoh kontrafeminis. Dia adalah Putri Rubiah. Kebangsawanlah yang menyebabkannya harus selalu taat pada adat, karena tidak pernah dirugikan oleh adat, segala kebutuhannya dicukupi oleh saudara laki-lakinya, putri Rubiah senantiasa memuja-muja adat. Adat menentukan bahwa perempuan tidak perlu bersekolah.  Ia pun enggan menyekolahkan anak perempuannya dapat kita lihat pada kutipan berikut:
            “Wahai, kasihan anakku! Celaka benar untungnya Sudah tiada diindahkan oleh mamandanya jodonya tak pula dicarikannya anak orang umur 12 atau 13 tahun setua-tuanya umur 14 tahun telah dikawinkan tetapi anak ku hampir berubah masih perawan juga. Kalau masih hidup ayahnya  tentulah tiada dibiarkannya anaknya sedemikian ini walaupun akan digadaikannya kepalanya.dan akau ini mengapa berbeda benar dengan untung perempuan lain meskipun ada saudara ku yang berpangkat tinggi tetapi aku adalah sebagai anak dagang yang tiada berkaum keluarga.tiada diindahkan,tiada dilihat-lihat,belanja dan pakaianpun tidak diberi”. ( Marah Rusli, 1922: 19)   
            Perempuan menjadi makluk yang paling menderita akibat pelaksanaan adat yang tidak adil dan menyekangnya, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat (Sukanti, Suryochondro, 1995:41).
            Sutan Hamzah yang beristri banyak dinilainya sebagai saudara yang sesungguhnya, yang membangkitkan batang taramdam, yang tahu adat istiadat dan menjunjung tinggi pusaka nenek moyang, yang menghargai ketinggian bangsawan, dan yang menjalankan kewajiban kepada saudara dan kemenakannya. Salah satu wujud pembelannya  terhadap adat adalah bersama adiknya, mengguna-gunai Sutan Mahmud agar kembali pada adat dan pemutuskan cinta kepada istri tunggalnya.Hal ini bertentangan dengan feminisme menolak poligami yang kebih banyak menimbulkan masalah dalam keluarga  (Sanituti-Haridadi,1993:524-525;Sitoresmi-Prabuningrat 1997:30). Dapat kita lihat pada kutipan berikut:
            “Memang engkaulah saudaraku yang sesungguhnya, membangkitkan batang taranddam, yang tau adat istiadat dan menjunjung tinggi pusaka nenek moyang kita dan tahu menghargakan ketinggian kebangsawanan kita dan menjaankan kewajiban kepada saudara dan kemenakannya,” kata putrid Rubiah memuji-muji adiknya itu (Marah Rusli, 1922:63) 
            “ Taukah engkau seorang dukun yang pandai?” (Marah Rusli, 1922: 66) 
Selain golongan tua,  para tokoh muda juga banyak aktif dalam menggulirkan emansipasi perempuan, sedangkan ia justru ikut saja pada adat yang ditentukan orang tuanya. Ia tidak pernah protes karena tidak disekolahkan oleh orang tuanya. Keterampilannya hanya menjahit dan menyulam. Ia dikawinkan pada usia yang masih muda, kira-kira 15 tahun. Karena orang tuanya kontrafeminis, iapun didik sedemikian rupa sehingga melanggengkan pandangan yang salah tentang kodrat perempuan. Rukiah menerima pandangan masyarakat, bahwa perempuan tidak perlu menuntut ilmu tinggi-tinggi, karena tugasnya hanya mengurus rumah tangga, mengasuh anak dan melayani suami.
Tokoh kontra feminisme tidak hanya laki-laki, tetapi ada juga tokoh perempuan. Kebanyakan tokohnya adalah golongan tua, tetapi ada juga anak muda. Pemuda yang kontra feminis adalah Rukiah yang telah dicetak oleh ibunya untuk menjadi perempuan penurut dan yang tidak berpendidikan.
“Wahai, kasihan anakku! Celaka benar untungnya Sudah tiada diindahkan oleh mamandanya jodonya tak pula dicarikannya anak orang umur 12 atau 13 tahun setua-tuanya umur 14 tahun telah dikawinkan tetapi anak ku hampir berubah masih perawan juga” (Marah Rusli, 1922: 19)

Beberapa penokohan yang mengandung prasangka gender.
            Dalam Novel Siti Nurbaya sebagian kecil tokohnya mengandung prasangka gender. Penokohan itu menimpa tokoh profeminis. Ketika narrator menceritakan keelokan paras Siti Nurbaya, ia berkomentar bahwa kecantikan itu memancing birahi laki-laki. Samsulbahri tidak digambarkan sebagai orang yang menarik perhatian dan memancing birahi perempuan-perempuan di kota Padang. Jelaslah bahwa terdapat ketidak adilan penokohan laki-laki dan perempuan. Tokoh laki-laki “sekedar gambaran”, sedangkan tokoh perempuan  “ditambai dengan muatan-muatan emosional”.
            Menurut komseksi jawa, perempuan itu merah-ati (membangun kemanisan, memperlihatkan keindahan, mampu mengombinasikan warna-warna yang beraneka ragam untuk memperindah dirinya, cantik wajahnya dan ramah tamah pekertinya, serta lemah-lembut gaya bicaranya dan lues tingkah lakunya), gemati (memilihara, melayani kebutuhan keluarga, mendidik putra-putri dengan  tekun dan penuh kasih sayang, serta teliti dan berhati-hati  dalam segala tindakan ), dan luluh (hati dan perasaannya berpadu menjadi satu dengan satu dengan suami dan keluarganya, menerima apa adanya, serta mudah menanggapi  perasaan dan kemaun orang lain).
            Sifat lelaki adalah teguh (mengusahakan kesentosaan badan dan batin serta bersifat melindungi), tanggon (kokoh hati, besar kemauan, dan kuat imannya), dan tangguh (bersikap bijaksana dan bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan keluarga.
            Nurbaya tidak hanya dicintai, tetapi juga diganggu karena kecantikannya. Samsul Bahri adalah orang yang mencintai secara benar dan kebetulan Sitti Nurbaya dapat menerima cintanya. Artinya Siti Nurbaya pun mencintai Samsulbahri sehingga terjadilah keseimbangan cinta atau cinta yang berterima antara laki-laki dan perempuan pada. Dapat kita lihat padda kutipan berikut:
            “ Selagi ada hayatku dikandung badan, tiadalah akan lupa aku pada mala mini yaitu pada malam yang memberikan harapan yang baik bagiku kepada waktu yang akan datang. Itu saksiku, Nur,” kata Samsu, seraya menunjukkan bulan dan bintang yang diatas langit, “tiadalah aku akan mencintai perempuan lain melainka engkau seorang. Tiada lain perempuan yang akan menjadi istriku hanya engkaulah. Engkaulah harapanku, engkaulah mestika yang mendatangkan kesenangan dan kesentosaan atas diriku. Bila tiada engkau, haramlah bagiku perempuan lain,” lalu diciumnya pula Nurbaya. (Marah Rusli, 1922: 85)
            “Akupun demikian pula Sam,” jawab Nurbaya. “Tuhan saksiku, tak ada laki-laki di alam ini yang kucintai lain dari pada engkau. Engkaulah suamiku dunia akhirat.” (Marah Rusli, 1922:86)
            Datuk maringgih juga menyukai Sitti Nurbaya, tetapi kesukaan itu hanya karena Sitti Nurbaya cantik. Datuk Maringgih hanya ingin memperturutkan nafsunya agar dapat memperistri gadis yang menjadi “kembang” kota padang. Siti Nurbaya tidak dapat menerima kemauan Datuk Maringgih. Akhirnya, Datuk Meringgih menggunakan cara-cara yang licik untuk mendapatkan Sitti Nurbaya. Dapat kita lihat pada kutipan berikut:
            “ Oleh sebab hendak menolong ayaku anakku menyerahkan dirinya kepadamu, untuk memuaskan hawa nafsu dan hatimu, yang sebagai hati binatang itu”, kata ayahku kepada datuak Meringgih. Sekarang barulah ku ketahui bahwa kejatuhanku ini semata-mata karena perbuatan ini, juga karna busuk hatimu, dengki dan tak dapat engkau melihat orang lain berharta pula seperti engkau. Dengan berbuat berpura-pura bersahabat karib dengan aku, kau perdayakan aku, sampai ku jatuh kedalam tanganmu dan harus menurut sembarang kehendakmu yang keji itu. Tetapi taka apa, datuak Meringgih! Tuhan itu tiada buta; lambat laut tentulah engka akan beroleh juga hukuman atas kehinan ini. Lalu ayahku menuntun aku masuk kedalam rumah. Sejak waktu itulah aku akan menjadi istri datuk Meringgih. (Marah Rusli, 1922:141)
            Gangguan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap Sitti Nurbaya tidak cukup sampai disitu, ketika Sitti Nurbaya naik kapal ada dua orang awak kapal yang terpesona oleh kecantikannya. Awak kapal itu mengganggu Sitti Nurbaya secara fisik dan psikologis serta menyamakannya dengan perempuan nakal dapat kita lihat pada kutipan berikut:
            “Ini sesungguhnya bunga ros dari Padang?” jawab Ludi. Sungguh engkau membujuknya selusin bir upahnya”, kata mualim itu pula “coba-coba;tetapi rupanya ia orang baik-baik; tentu susah didekati tambah pula, ada yang menjaganya”, jawab Ludi “ Jika tak cukup selusin nanti aku tambah selusin lagi kata Mualim tadi seraya mengerling kepada Nurbaya,” “ Pipinya yang cekung bila ia berkata-kata dan tahi lalat yang ada pada pipinya menambahkan asyik hatiku”. (Marah Rusli, 1922:209)  
            Prasangka gender juga tampak pada penggambaran kualitas tokoh. Samsulbahri digambar kan sebagai tokoh yang pandai dan lebih cerdas dari pada Sitti Nurbaya. Samsulbahri menjadi ”konsultan” Sitti Nurbaya ketika gadis itu tidak paham akan suatu pelajaran dapat kita lihat pada kutipan berikut:
“Oh Sam, tadi aku diberi hitungan oleh nyonya Van der Stier, tentang perjalanan jarum pendek dan jarum panjang padda suatu jam. Dua tiga kali kucari hitungan itu, sampai pusing kepalaku rasanya tak dapat juga. Bagaimanakah jalannya hitungan yang sedemikian?”
“Bangaimanakah soalnya?” Tanya siSam.  (Marah Rusli, 1922:5-6) 
            Selain itu, Samsulbahri digambarkan sebagai orang yang memiliki lebih banyak pengetahuan daripada Sitti Nurbaya. Samsulbahri mampunyai cerita-cerita yang mengandung pelajaran berharga sedangkan Sitti Nurbaya tidak. Ketika berada di Gunung Padang Samsulbahri bercerita tentang perempuan dengan kucingnya dan ayam yang bertelu emas dapat kita lihat pada kutipan berikut:
            “Setelah keduanya berdiam sejurus, berkatalah Nurbaya tiba-tiba, “O, ya baru ku ingat janjimu tadi akan menceritakan perempuan dengan kucingnya dan ayam yang bertelur emas itu. Bagai manakah ceritanya” (Marah Rusli, 1922:52)         
Ketika juara lintau  minta beberapa perlengkapan dan perdukunan (Perasapan, kemenyan, air bersih, sirih kuning, baju atau kain sutan Mahmud dan rambut Sitti Mariam). Untuk mengguna-gunai Sutan Mahmud dan istrinya yang mengambilkannya adalah Putri rubiah (perempuan), bukan sutan hamzah dapat kita lihat pada kutipan berikut:
“Perkara rambut itu, nantilah hamba pergi kerumahnya”, kata Putri Rubiah. (Marah Rusli, 1922:70)
            Menurut Muinah-Wahwudi dan Suratmi-Iman Sudjahri (1984:69), apa yang dilakukan oleh tokoh Rukiah dan Putri Rubiah merupakan keterampilan yang diajarkan oleh orang tua kepada anak perempuannya dan yang telah ditetapkan oleh budaya (kuno) setempat sebagai keterampilan yang dianggap pantas dan bermanfaat bagi anak yang bersangkutan. Menurut budaya kuno) setempat, keterampilan tersebut tidak pantas untuk diajarkan pada anak laki-laki. Selain kepandain dan pengetahuan tentang ramuan jamu dan dupa, anak perempuan juga didik supaya mengetahui masalah alat kecantikan, resep makanan, dan mantra-mantra.

Latar dan Prasangka  Gender
Latar dan Prasangka Gender
Latar/tempat dan cara penggambaran latarnya  ternyata dapat menjadi media timbulnya prasangka gender. di dalam novel Siti nurbaya latar yang demikian memeang tidak banyak.hanay beberapa latar saja yang mengandung prasangka gender.yang terbanyak adalah latar sosialnya,sedangkan latar waktu tidak terlihat.
“Kasihan orang tua itu lebih baik kita berjalan kaki saja perlahan-lahan, pulang kerumah; barang kali ditengah jalan kita bertemu dengan dia kelak,” kata anak permpuan itu pula seraya membuka payung Sutranya dan berjalan perlahan-lahan keluar pekarangan rumah sekolah.”
“Ya, tetapi aku lebih suka naik bendi dari pada berjalan kaki, pulang kerumah, sebab aku amat lelah rasanya dan hari amat panas. Lihatlah mukamu, telah merah sebagai jambu air, kena panas matahari!” jawab anak laki-laki itu seakan merengut, tetapi di ikutinya juga temannya yang perempuan tadi. (Marah Rusli, 1922: 3)    
Dari peristiwa ini, terbukti adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Jika siang ditengah teriknya sinar matahari, perempuan lebih suka berjalan kaki sambil berpayung sedangkan laki-laki lebih suka menunggu kendaraan atau bendi. Jadi, jelas payung pemiliknya adalah perempuan, dan bendi atau kendaraan kepemilikan laki-laki, disinilah terletak prasangka gender. Payung sebenarnya hanyalah alat yang dapat di pakai oleh siapapun, baik itu perempuan atau laki-laki karena payung itu dapat menlindungi kita dari air hujan. Kalau seorang laki-laki memakai payung itu tidak akan kehilangan kekelakiannya hanya dengan memakai payung.
Prasangka gender tampak pula pada penggambaran latar tempat, terutama pada perbandingan anatara rumah Putri Rubiah dan Datuk Meringgih. Sebagai seorang perempuan, Putri Rubiah mempunyai rumah yang indah. Dipekarangan rumahnya terdapat tumbuh-tumbuhan yang sedang berbuah dan bunga-bungaan yang sedang berkembang. Tiang rumahnya berukir-ukir, kaki meja marmernya juga berukir-ukiran.
Dengan gambaran ini, terlihat bahwa perempuan itu menyukai keindahan. Boleh jadi bunga-bungaan itu dirawat sesuai dengan seleranya sendiri atau menurut apa yang tertanam dipikirannya. Sebaliknya tanaman itu dikerjakan oleh orang lain yang dibayar karena ia orang yang berada pada kalangan atas atau orang yang mampu.
Yang ini berbeda sekali dengan datuk Meringgih. Karena  Datuk Meringgih adalah seorang laki-laki, apalagi ia orang yang kikir, rumahnya tidak seindah rumah Putri Rubiah. Bahkan rumah Datuk maringgih terkesan tidak terurus. Perabotannya sudah tua dan tidak teratur. Pekarangan rumahnya ditumbuhi pohon-pohon yang rindang, tetapi tidak ada bunga-bunga yang indah. Datuk Meringgih sebagai laki-laki tidak sempat menanam bunga-bungaan dan ia tidak memerlukan keindahan alam. Hal ini terlihat bahwa seorang perempuan mengutamakan keindahan dan kecantikan dirinya, sedangkan laki-laki yang bersifat perkasa merasa tidak perlu mengualitaskan diri dengan keindahan itu.latar sosial yang mengandung prasangka gender terdapat pada bagian ke dua,ke empat, kesembilan,ke sebelas,ke duabelas, dan da ke lima belas. Pada  bagian ke dua terdapat kebiasaan anak perempuan tidak perlu menganyam pendidikan agar, menurut kepercayaan, tidak menjadi jahat.
Pikiran bentuk ini tentu saja tidak pada tempatnya karena pendidikan seharusnya di utamakan dan menjunjung tinggi moral dan akal yang sehat serta disiplin dengan ajaran agama.
Pendidikan itu mampu mengangkat tinggi derjat manusia apalagi pada perempuan yang hanya melakukan pekerjaan rumah, sekarang hal yang seperti itu tidak ada lagi pendikan mampu mengangkat masyarakat yang sejahtera.
Pada bagian sembilan juga disebutkan bahwa poligami ternyata menjadi  penyebab segala ketidakadilan dan pertengkaran di dalam keluarga. Dalam rumah tangga, perempuan dianggap sebagai barang yang dimiliki oleh suami terhadap istri, bahkan suami dapat bertindak sewenang-wenang terhadap istri,  bahkan suami dapat membunuh istri apabila ketahuan selingkuh sementara jika suami selingku itu dianggap wajar.
Pada bagian ke empat belas diceritakan mengenai ketidak mengenai ketidakrelaan kaum laki-laki mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena pembagian pekerjaan itu dianggapnya sebagai ketentuan Tuhan. Oleh karena perempuan mempunyai pekerjaan yang berbeda dengan laki-laki misalnya perempuan mempunyai pekerjaan memasak dan menjahit itu tidak mungkin dilakukan oleh seorang laki-laki. Pikiran ini muncul ketakutan laki-laki seandainya nanti perebutan jabatan dan pekerjaan antara laki-laki perempuan, dan tidak mau menikah dan ia dapat dengan sendirinya menafkahi hidupnya sendiri.
Pemberian kesempatan yang sebesar-besarnya pada perempuan untuk memasuki dunia kerja, pasti akan berpengaruh terhadap pola-pola hubungan anatar anggota keluarga.kedudukan perempuan pada dasarnya bersumber pada ketakutan terhadap implikasi perubahan yang disalah gunakan untuk kemudahan untuk diri sensdiri .Berdasarkan pembahasan latar dengan sudut pandang  perempuan tersebutdapatlah disimpulkan  bahwa meskipun Siti Nurbaya membawa semangat emansipasi perempuan ,prasangka gender  terkandung didalamnya,terutama terdapat latar tempat dan alat.hal tentang perempuan yang berjalan telah berabad-abad yang sulit dihindarkan oleh orang.


Hubungan Antara Gaya Bahasa dan Gender
Dalam pembahasan tentang hubungan antara gaya bahasa dan gender, ada 2 hal yang perlu diperhatikan. Pertama gaya bahasa digunakan sebagai media untuk mengkritik prasangka gender yang berkembang dalam masyarakat serta menyuarakan cita-cita, emansipasi perempuan dan fenimisme. Kedua masih ada kemungkinan bahwa didalam gaya bahasa juga tersembunyi reproduksi prasangka gender. Didalam novel siti Nurbaya, kedua kemungkinan tersebut ternyata ada sehingga penulis buku ini tidak boleh mengabaikan keduanya.
Pernyataan Sutan Mahmud itu merupakan kritikan yang keras terhadap kakaknya, putri Rubiah, yang pernah menyatakan bahwa anak perempuan tidak perlu disekolahkan supaya tidak menjadi Jahat. Oleh karena itu, dengan gaya bahasa sinisme, Sutan Mahmud mengejek pendirian kakaknya itu. Lagi pula hamba disekolahkan Syamsul bukan karena apa-apa. Melainkan sebab pada pikiran hamba, Sultan Mahmud sebenarnya ingin mengkritik para bapak yang tidak menyekolahkan anaknya.
Bentuk semacam ironi lainnya dan digunakan dalam Sitti Nurbaya adalah satire. Dalam hal ini seorang tokoh perempuan misalnya putri Rubiah, sengaja dipinjam untuk menyuarakan pandangan masyarakat pemegang adat tentang pendidikan kaum perempuan, posisi kaum perempuan dalam perwakilan dan sebagainya. Pikiran-pikiran yang kontrafeminisme itu disengaja untuk kemudian dipertentangkan dengan piliran tokoh-tokoh profeminis.
Pertanyaan tersebut menunjukan bahwa adat poligami telah berkembang luas dipadang dan laki-laki apa lagi bangsawan yang tidak melakukannya dianggap aib pemilihan tokoh perempuan untuk mengungkapkan adat tersebut mengandung makna bahwa perempuan telah diperbudak oleh kaum laki-laki untuk dijadikan pemuas nafsu seksual dan penghasilan keturunan.
Beberapa gaya bahasa yang digunakan dalam kutipan tersebut, diantara adalah klimaks, anak orang umur 12 atau 13 tahun, setua-tua nya 14 tahun, telah dikawinkan. Semuanya berfunsi untuk menyangatkan bahwa anak perempuan kebanyakan kawin muda, tua sedikit saja dikatakan beruban sehingga orang tua harus berupaya sekuat tenaga untuk mengusahakan perkawinan, meskipun harus dengan mengadaikan kepalanya (menjual harta yang berharga).
Dalam hal ini, Siti Nurbaya mengemukakan wacana satirenya bahwa tradisi yang berlaku di Indonesia adalah kawin muda. Berkenaan dengan hal itu, Syamsulbahri berkata dengan gaya senisme, tetapi pada sangka perempuan disini, suatu keaiban kalau tak kawin muda-muda, sebagai tak laku.
Gaya bahasa ironi digunakan digunakan oleh Ahmad Maulana untuk menyindir istrinya yang masih berpedoman pada adat lama yang menganjurkan poligami. Kepada siti nurbaya ia berkata , Rupanya makmuda mu ini, Suka kepada laki-laki yang beranak banyak, Nurbaya sebab itu kupinang aku perempuan barang selusin lagi. Oleh karena itu, perempuan tidak perlu malu-malu dan berpikiran bahwa suaminya tidak laku kepada perempuan  jika ia tidak kawin lagi.
Berbeda dengan Ahmad Maulana, seorang tokoh profeminis perempuan, Sitti Nurbaya, lebih suka menggunakan kalimat yang bernada penuh kecemburuan atau “iri kepada laki-laki” untuk memprotes perlakuan buruk terhadap  peremouan.
Contoh hiperbol yang lain adalah perempuan, keluar rumah pun tak boleh, oleh suami  dihina dan sia-siakan oleh ibu-bapak dan kaum kerabat, dipaksa menurut segala kehendak hati mereka”. Pendek kata Nurbaya menyatakan bahwa laki-laki itu egois, mau menang sendiri, dan jika istrinya bersalah ia memukul, menerjang, dan mencaci makinya.
Untuk menguji adanya kemungkinan tersebut, pertama-tama harus melihat perbedaan laki-laki dan perempuan dalam berbahasa, bagaimana perempuan memanggil  laki-laki dan bagaimana laki-laki memanggil perempuan. Untuk permasalan ini, tampaknya dalam dalam novel Sitti Nurbaya tidak ada perbedaan.
Setelah Siti Nurbaya lolos dalam ujian pertama, ujian berikutnya adalah penggunaan bahasa oleh narrator untuk menggambarkan laki-laki dan perempuan.
Buga atau kembang adalah bagian tanaman yang indah. Oleh karena itu, banyak orang yang ingin mengetiknya. Dia adalah benda yang menarik perhatian, sehingga banyak yang menyangka  bahwa ia adalah benda untuk dinikmati atau bahkan untuk dimiliki. Jika kumbang itu diibaratkan sebagai manusia yang berjenis laki-laki dan bunga adalah perempuan, berarti bahwa laki-laki senang melihat dan menikmati keindahan perempuan.
Metafora berbalik hujan kelangit, berarti bahwa perempuan berubah menjadi laki-laki dan sebaliknya.
Gaya bahasa yang banyak digunakan adalah bermacam-macam ironi dan pertanyaan ritoris karena gaya bahasa ini memang berfungsi untuk menyindir dan mengejak segala sesuatu yang tidak diinginkan kehadirannya. Dengan sindiran itu, diharapkan terjadi perubahan.

            POKOK-POKOK PIKIRAN FEMINISME NOVEL SITINURBAYA

Dalam bab ini akan dilakukan dengan mendasarkan asumsi,dalam mengemukakan gagasan emansipasi perempuan dan feminisme,unsur-unsur cerita tidak berdiri sendiri,tapi saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya.Dengan ini,analisis dikatakan sebagai analisis kritik sastra antar unsur.Selain itu,bab ini menampilkan ide-ide para tokoh supaya lebih terperinci dari babsebelumnya.
Pokok-pokok pikiran feminisme dalam novel Sitti Nurbaya pada dasarnya merupakan eksploitasi terhadap pikiran,sikap, dan tindakan tokoh cerita dalam hubungan dengan eksistensi perempuan.dalam dunia karya sastra,pikiran,sikap dan tindakan tokoh cerita tersebut berhubungan  dengan gambaran fisik,watak tokoh  oleh narator,lingkungan yang melatarinya,serta masalah dan tema.
Pikiran dan tindakan para tokoh mengenai eksistensi perempuan jelas keberadaannya.Hal ini dikemukakan oleh para tokoh profeminis secara eksplisit,baik bentuk kelakuan maupun pembicara antar tokoh cerita secara khusus,misalnya pembicara antar Samsulbahri,Nurbaya,Arifin,dan Bakhtiar,antara Samsulbahri dengan Nurbaya;antara BagindaSulaiman dengan Samsulbahri;antara Ahmad Maulana dengan istrinya;antara Nurbaya dengan Alimah;antara Letnan Mas dengan Yan van Sta.
Maka dari itu,perlu dipertimbangkan  percakapan dan kelakuan tokoh-tokoh yang menentang feminisme(tokoh kontra feminis),misalnya percakapan antara  Sutan Hamzah dengan Putri Rubiah,perilaku Sutan Hamzah dengan Putri Rubiah,serta Datuk Meringgih.
Tokoh cerita tentangmasalah prasangka gender dan emansipasi perempuan akan lahir sikapnya tertentu,misalnya Alimah yang memberlatar belakangi broken home  berpikir  bahwa rumah tangga(poligami)tidak akan didasari oleh cinta,keadilan dan tidak akan membawa kebahagiaan.Oleh sebab itu,ia tidak akan kawin lagi karena cuman hanya menyakitkan hatinya,badan dan menghabiskan harta. Dari lain pihak, Sutan Hamzah yang memberlatar belakangi  keluarga bangsa  berpendapat  bahwa laki-laki sejati adalah yang mempunyai banyak istri dan anak.Maka itu,ia memanfaatkan kebangsawan untuk  kawin cerai berkali-kali dan akan berbuat semena-mena terhadap anak istrinya.
Tokoh profeminis menyetujui dan melakukan poligami,sedangkan profeminis cendrung menentang poligami dan kawin paksa.maka dari itu,pro maupun kontra tersebut tidak muncul secara serta merta,tapiu ada nilai-nilai yang melatar belakanginya,yaitu adat dan tafsir agama.yang menjadi masalahnya yaitu,benar agama membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan.Dalam menganalisis novel Sitti Nurbaya,teks sastra harus dihubungkan dengan konteks agama secara lebih objektif.
Maka dari itu,pembahasan pokok-pokok pikiran feminisme meliputi:(1)Sitti Nurbaya dalam stereotipe perempuan; (2) peranan agama dan adat dalam subordinasi perempuan; (3)kekerasan terhadap Sitti Nurbaya sebagai perempuan; di dalam di luar rumah; (4)posisi Sitti Nurbaya sebagai perempuan dalam perkawinan;(5)usulan Sitti Nurbaya tentang pengasuh anak.
Sitti Nurbaya dalam Streotipe Perempuan
Stereotipe perempuan dalam karya sastra kita lihat pada kelakuan dan pikiran tokoh-tokoh cerita dan gambaran tokoh-tokoh cerita oleh Narator. Dalam Sitti Nurbaya, meskipun tentang emansipasi  perempuan nyata benar keberadaannya, prasangka gender  juga muncul dalam banyak kasus. Kasus yang pertama adalah gambaran Samsulbahri dan Sitti Nurbaya ketika dia pulang sekolah. Prasangka gendre muncul ketika narrator menggambarkan Sitti Nurbaya secara stereotype: di tangan kanan nya adalah sebuah payung sutera yang berwarna kuning muda yang berbunga dan berpinggir hijau. Ketika bendi yang akan menjemputnya tidak akan kunjung datang, ia akan mengajak Samsulbahri berjalan kaki  sambil berpayung, tapi Samsulbahri menolaknya, seolah-olah tidak akan pantas Samsulbahri memakai payung itu.jadi, payung itu akan melekat pada diri perempuan, sedangkan kendaraan akan melekat pada diri laki-laki. Laki-laki pun lebih suka menunggu sampai bendi datang, tapi dalam penantian tersembunyi amarah. Karena perempuan lebih suka menunggu sambil berjalan karena ada payung yang yang bisa melindunginya dari sinar matahari. Dengan itu, perempuan bersifat sabar dan berusaha mengerti mengapa Kusir Ali terlambat menjemputnya.
Penokohan yang berprasangka muncul ketika narator secara analisis gambaran fisik Sitti Nurbaya serta penilaian dan ramalan dan siapa yang memandangnya dan akan merasa tertarik oleh suatu tali rahasia yang memikat hatinya. Setelah dewasa nanti, Nurbaya akan menjadi sekuntum bunga, kembang kota Padang yang semerbak bau sampai kemana-mana, dan menjadi asyik  berahi segala kumbang dan rama-rama yang ada disana. Begitu pandangan narrator (laki-laki) bahwa harga perempuan terletak pada kecantikannya.
Perempuan biasanya ahli dalam sector domestik, sedangkan laki-laki lebih suka pada sector publik. Pekerja menjahit, menyimpan baju, memasak, mengasuh anak biasanya menjadi keahlian perempuan. Dalam hal ini tampak pada apa yang akan dilakukan Rubiah ketika Sutan Mahmud datang, yaitu menjahit baju. Demiikian pula, ketika dukun didatangi oleh Sutan Hamzah dan Putri Rubiah minta perasaan dan kemenyan, air bersih semangkuk besar, sirih kuning tujuh lembar, dan baju Sutan Mahmud untuk akan mengguna-guna Sutan Mahmud dan istrinya, semua itu di ambil oleh Putri Rubiah, bukan Sutan Hamzah.
Bahkan itu, streotipe laki-laki dan perempuan berprasangka genre  dianut oleh orang-orang yang profeminis. SutanMahmud, tokoh berpikiran maju, ketika menjenguk  Letnan Mas (Samsulbahri) di rumah sakit, dia membayangka anaknya bersuka-suka dengan Nurbaya sebagai suami dan istri: Bahkan Samsulbahri menjadi dokter  dan Nurbaya sedang memangku anak laki-laki karena dapat menjadi dokter (berpangkat tinggi).
Ahmad Maulana ia mengatakan bahwa laki-laki wajib menafkahi  dan memilihara anak istrinya saja, karena laki-laki lebih kuat dari pada perempuan. Kelebihan laki-laki terletak pada bentuk badan. kekuatan, akal dan laki-laki cocok sebagai bangsa yang melindung, dan perempuan sebagai tempat  penyimpanan dan mempertaruhkan anak dan harta benda. Pendapat juga memberi citra negatif terhadap perempuan, perempuan pun dapat mencari nafkah.
Ada streotipe  perempuan dan laki-laki oleh pandangan yang salah kaprah terhadap jenis kelamin dan gender. jenis kelamin adalah penyifatan atau pembagian jenis laki-laki dan perempuan berdasarkan perbedaan biologis, misalnya laki-laki mempunyai penis,  kalamenjing, dan memproduksi sperma, dan perempuan mempunyai vagina, rahim, alat menyusui, dan memproduksi sel telur. gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikontruksi secara sosial budaya, misalnya, laki-laki dianggap kuat, jantan, perkasa, dan rasional, dan pertempuan dianggap lembut, cantik dan keibuan, dan irasional.
Perempuan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestic atau pekerja rumah tangga, dan laki-laki memegang pekerjaan publik. untuk pencari nafkah utama, laki-laki biasanya bekerja diluar rumah. dan perempuan menjalankan pekerjaan public, seolah mereka ditempatkan dalam posisi yang secara streotipe sesuai dengannya, yaitu sebagai guru, pekerjaan sosial, dan sekretaris. laki-laki dapat menduduki posisi sebagai dokter, insinyur, dan menteri . pencari nafkah utama adalah suami, dan istri mempunyai penghasilan, dan sebagai hanya membantu menambah ekonomi keluarga, bukan”pencari nafkah utama”.
Wolfman (1990:38-39) bahwa prasangka gender merupakan gagasan tradisional yang stereotype dan merendahkan martabat perempuan. Sebagai perempuan sering digambarkan sebagai orang yang kurang memiliki kemampuan, bodoh, dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya. ada streotipe mengandung kenyataan, tapi streotipe merendahkan perempuan dan mengungguli laki-laki. Para feminis menolak pandangan streotipe dan juga menentang pola perilaku tradisional kaum perempuan. Bahwa mereka menyangka bahwa kaum perempuan dalam segala hal berlainan dengan kaum pria.
Salah kaprah gender sudah disadari oleh Sitti Nurbaya. maka ia mengatakan bahwa kelemahan tubuh dan kekurangan akal perempuan bukan disebabkan oleh kurang sempurna tubuh dan otak perempuan, tapi tubuh perempuan memang berbeda dengan laki-laki, karena perempuan pada masa Sitti Nurbaya tidak ada yang disekolahkan. jadi kelemahan tubuh manusia disebabkan oleh faktor alamiah: secara biologis mereka hanya mengandung dan melahirkan anak yang dianggap oleh Sitti Nurbaya sebagai penyakit ”sedang kelemahan otak disebabkan oleh faktor sosial budaya untuk melarang perempuan pandai membaca dan menulis akan menjadi jahat. seandainya perempuan diperbolehkan belajar naik kuda, bersilat, dan bersekolah, mereka juga bisa menjadi kuat dan sepandai laki-lakipun. oleh sebab itu perbedaan yang sebenarnya hanta biologis, maka Sitti Nurbaya tidak menyetujui anggapan bahwa perempuan adalah hamba laki-laki saja.
Namun,cita-cita itu barulah sebagai’’berkas cahaya lilin yang belum mampu menerangi gelapnya malam”sehingga dari saman Sitti Nurbaya sampai tahun 1988, ketika population Crisis Committee melaporkan hasil penelitian,dan perempuan  Indonesia masihjauh dari status’’mitra sejajar’’secara utuh. Secara global, perempuan masih di indentik dengan golongan miskin, lemah, dan hamil, serta dikodratkan secara sosial-budaya sebagai pendamping suaminya,dan pengolahan rumah tangga, dan menerus keturunan (Kardinah-Soepadjo Roestam,1993:3-5) Peranan agama dan adat dalam subordinasi perempuan
          Adat yang berlaku di tempat yang menjadi setting novel Sitti Nurbaya adalah sistim kekerabatan matrilineal atau pemerintahan ibu. Matrilineal ternyata tidak memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada perempuan karena yang berkuasa dalam keluarga sesungguhnya adalah saudara laki-laki ibu (mamak). Anak-anak dipelihara oleh mamak, sedangkan bapak hanya menjadi” orang yang menumpang” sehingga laki-laki tidak mempunyai rasa cinta dan kasih sayang kepada anak istrinya.
         Cinta laki-laki hanya kepada kemenakan dan saudara perempuan. Tetapi, cinta dan kasih sayang kepada kemenakannya tersebut tentunya tidak sebesar cinta dan kasih sayang kepada anak nya sendiri dalam sistem patrilineal. Selain itu, anak pun tidak akan mencintainya. Ia hanya mencintai ibunya, sedangkan cinta nya kepada mamak tidak seberapa. Jadi laki-laki yang hanya menjadi “orang yang menumpang” itu ternyata masih mempunyai hak untuk memdapatkan segala sesuatu dari istrinya, sedangkan mamak mempunyai kekuasaan untuk menentukan jodoh kemenakannya.
         Menurut levy (pudjiwati-sajogyo,1985:28), perbedaan peranan antara laki-laki dan perempuan dalam keluaga disebabkan oleh faktor biologis (fisik kuat atau lemah, terlibat dalam kegiatan mengandung, melahirkan, dan membesarkan bayi atau tidak) dan factor perbedaan sosial-budaya lingkungan keluarga itu (siapa yang meraja dalam sistem itu, siapa yang mengasuh dan mendidik anak, siapa yang mencari nafkah, siapa yang tampil kedepan pada kegiatan-kegiatan ritual). Dalam novel Sitti Nurbaya perempuan adalah orang yang berfisik lemah dan terlibat dalam kegiatan mengandung, melahirkan, dan membesarkan anak, sedangkan laki-laki tidak.
                    Pikiran mereka bertentangan dengan Sutan mahmud, Sutan Mahmud tidak melakukan hal itu karena mengetahui bahwa adat tersebut jelek. Kalau perempuan tidak boleh bersuami lebih dari satu, laki-laki pun tidak boleh beristri banyak. Oleh karena itu, ai cukup beristri satu, menyayangi benar-benar istri dan anaknya, menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab.
          Menurut Sitti Nurbaya, adat kawin muda merupakan kebiasaan yang salah dan tidak boleh ditiru. Ia membandingkan bangsanya dengan bangsa barat. Perempuan  barat banyak yang baru kawin setelah berumur 30tahun dan tidak ada yang menghinakan nya. bahkan, mereka yang sudah berumur 35 atau 40 tahun pun masih tampak muda dan kukuh.
          Selain adat, tafsir agama ternyata juga mempunyai andil bagi tumbuhnya subordinasi perempuan. Seperti yang dikatakan oleh Baginda Sulaiman bahwa bangsa mereka memandang rendah perempuan, sedangkan kebanyakan kaum muslimin memperlakukan perempuan sebagai sahaya yang tidak berharga. Adat  poligami, kafatimah, juga tidak dilarang oleh agama, sehingga sulit menghapuskannya.
         Dengan demikian, yang dijadikan sebagai acuan oleh orang-orang dalam novel Sitti Nurbaya bukan agama, melain kan adat karena pemahaman agama mereka belum sempurna. Menurut Fatimah, adat adalah pusaka nenek moyang yang tidak boleh disia-siakan atau ditukar-tukar. Menurut Ahmad Maulana adat itu bertukar sesuai dangan perkembangan zaman.
         Menurut Ahmad Maulana, poligami merupakan adat kuno yang sudah harus ditinggalkan karena mengandung tujuh kejelasan dapat kita lihat pada kutipan berikut:
         Pertama, semakin banyak istri berarti semakin banyak belanja sebab masing-masing istri harus di biayai dengan secukupnya. Bila kurang tentu tidak senang hati mereka. kedua, semakin banyak istri berarti semakin banyak anak dan semakin banyak anak berarti semakin banyak pula belanjanya.menurut adat padang,yang bertanggung jawab pada anak adalh mamaknya(saudara laki-laki ibu),sedangkan ayah dianggap sebagai orang yang menumpang saja.ketiga,laki-laki poligami yang tidak dapat memberikan nafkah kepada semua istrinya secara adil bereti melakukan dosa karena agama membolehkan poligami asalkan suami dapat berlaku adil.Jika keadilan tidak terwujud,istri yang merasa kurang diperhatikan akan iri-dengki terhadap istri yang lebih diperhatikan.keempat,perempuan yang membiarkan suaminya beristri lagi sesungguhnya kurang sayang kepada suami.memperolehkasn suami poligami bukan berarti sabar.kelima,perempuan yang tidak baik hatinya tidak hanya memberikan ramuan kepada suaminya,melainkan juga kepada istri- istri suaminya supaya madunya itu dibenci suaminya atau bahkan supaya madunya lekas mati.keenam,perempuan yang bercerai karena tidak mau madu,akhirnya memilih untuk tidak kawin lagi kalaw perkawinan hanya akan mendatangkan kesakitan.ketujuh,perempuan yang dipermadukan biasanya menggangap suaminya tuan yang bangis sehingga ia tidak akan merasa hidup senang dan sehati dengan musuh yang dibencinya (Marah Rusli, 1922: 237-241)     
                Berdasarkan uraian diatas, jelaslah bahwa faktor dasar subordinasi perempuan adalah adat yang telah berjalan turun temurun.adat mempenggaruhi pola fikiran warganya tentang kaum perempuan.adat juga dapat mempenggaruhi tafsir agama sehingga masyarakat kadang-kadang berbuat kesalahan dalam memahami ajaran agamanya. agama (islam) tidak mengngenal subordinasi perempuan. Agama” dikalahkan” Oleh adat karena umur agama jauh lebih mudah dari pada adat.     

Kekekaran terhadap siti nurbaya sebagai perempuan dirumah dan diluar rumah
Sebagai makhluk yang dianggap rendah  dan sebelah mata oleh laki-laki dan dimanfaatkan oleh laki-laki baik dirumah ataupun diluar rumah. Buktinya kekerasan yang dilakukan oleh Sultan Hamzah kepada istrinya, Rapiah. Rapiah marah kepada Sutan Hamzah karena ketauan nikah lagi, seharusnya yang marah itu Rapiah tapi sebaliknya Sultan Hamzah yang marah pada Rafiah. Rafiah diterjang oleh suaminya sampai sakit dan ajalnya datang dan meninggalkan dua orang anak.
Kekerasan yang sama juga dialami oleh Aminah.hal itu disebabkan karena, penghasilan suaminya dipegang oleh Alimah. Hal itu disebabkan karena penghasilan suaminya dipegang oleh Alimah, dan saudara perempuan suaminya merasa iri kepada Alimah. Dan saudara perempuan suaminya itu menfitnah Alimah bahwa Alimah telah menghasut suaminya agar membenci keluarganya sendiri dan tidak memberi uang kepada mereka lagi. Yang sebenarnya Alimah tidak melakukan itu.
Teryata asutan itu tidak berhasil dan dicarikan cara lain agar suami Alimah benci kepada Alimah yaitu dengan cara mencari dukun supaya Alimah dibenci oleh suaminya. Karna niat jahat itu tidak berhasil dicarikan cara lain yaitu dengan menikahkan suami Alimah dengan perempuan hartawan, sejak itulah Alimah merasa sakit hati, marah, dan benci kepada suaminya. Perkawinan yang semula bahagiapun berubah menjadi menyakitkan. Dan poligami merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.
Sebenarnya tugas perempuan sebagai ibu rumah tangga sangatlah berat. Hal itu dikarenakan perempuan juga mengandung, melahirkan, dan menyusui. Karna kesibukan itulah perempuan hanya dirumah saja. Apalagi kalau anak sudah basar ia lebih menghargai bapaknya ketimbang ibunya. Ibu dianggap rendah dan hina karna ia kaum perempuan  (Marah Rusli.203-204). Jadi kekerasan tidak hanya dilakukan suami tapi juga oleh anak.
Sebab terjadinya kekerasan karna ada anggapan bahwa kaum perempuan lebih rendah dari pada kaum laki-laki.laki-laki selalu benar dan perempuan selalu salah. Jika perempuan salah akan mendapatkan cacian dan makian yang lebih parahnya lagi dipukul dan diterjang dan diusir dari rumah dan diceraikan. Begitulah kata Sitti Nurbaya kepada Alimah (Marah Rusli. 205-206).
Siti Nurbaya adalah korban kekerasan rumah tangga yang dilakukan oleh Datuk Maringgih (Marah Rusli.144-145). Hal itu disebabkan karena Datuk Maringgih merasa iri kapada Baginda Sulaiman dan menghancurkan usaha yang dirintis oleh ayah Sitti Nurbaya dengan begitu Baginda Sulaiman akan meminjam uang kepada Datuk Maringgih dan ayah Siti Nurbaya tidak sanggup membayarnya sebagai gantinya Sitti Nurbaya dijadikan istri  untuk membayar utang ayanhnya. Dan Siti Nurbaya hanya untuk memuaskan nafsu bejatnya saja . Kalau nafsunya sudah puas Sitti Nurbaya dibuang dan disiksanya. Kehidupan Sitti Nurbaya sangatlah menderita dan mengingikan waktu akan cepat berlalu. Kekerasan yang dilakukan Datuk Maringgih tidak dilakukan dirumah saja tetapi juga diluar rumah. Ketika Siti Nurbaya sudah bercerai pun masih saja mendapatkan ancaman dari mantan suaminya yaitu diancam akan dibunuh (Marah Rusli. 155-156).
Sebelumnya Siti Nurbaya dituduh berselingku dengan mantan kekasinya yaitu Samsulbahri. Dan setelah itu Siti Nurbaya diikuti oleh mata-mata suruhan Datuk Maringgih, yaitu untuk mengamati gerak-gerik Sitti Nurbaya. Dan Sitti Nurbaya hampir saja dibuang kelaut oleh orang suruhan matan suaminya. (Marah Rusli. 179). Dan diatas kapal Sitti Nurbaya mendapat pelecehan dari penumpang kapal, tapi untungnya Sitti Nurbaya bisa menjaga dirinya dan orang yang mengagu Siti Nurbaya menjadi takut (Marah Rusli. 175-178).
Dan setelah sampai didermaga, Siti Nurbaya dihadang oleh polisi dan pegawai pemerintahan yang membawa surat kawat yang berisi tuduhan kalau Siti Nurbaya telah melarikan harta Datuk Mariggih dan harus pulang kepadang untuk berusan dengan pengadilan (Marah Rusli. 181-186). Fitnah itu tidak terbukti kebenaranya. Dan Datuk Maringgih sudah terbukti bersalah tapi tidak ditututnya balik. Seolah-olah berpihak kepada orang kaya (Marah Rusli.1922:190).
Setelah gagal mempenjarakan Sitti Nurbaya, Datuk Maringgih menyuruh orang menyamar sebagai tukang kue dan diantara kue itu ada lemang yang beracun dan Siti Nurbaya membeli, dan memakanya dan menggalami keracunan dan akhinya meninggal. Walaupun peristiwa itu sudah diadukan ke polisi. Tapi sayangnya buktinya hilang karna dibuang kedalam sumur (Marah Rusli.212-214).
Jadi lengkaplah penderitaan perempuan. Dirumah ia mendapat kekerasan dari suaminya dan diluar ia mendapat kekerasan yang dilakukan masyarakat. Dan suami yang telah menyiksa dan membinasakan dan diceraikan. Yang seolah-olah dunia milik laki-laki “ dunianya laki-laki “ (Kardinan Soeparjo Roestam,1993:3). Dan dimanapun perempuan berada tidak akan merasa aman karena ada siksaan batin yang dialaminya.

Posisi Siti Nurbaya sebagai perempuan dalam perkawinan
Tujuan perkawinan adalah untuk mencari kebahagian. Laki-laki dan prempuan beeranggap bahwa dengan kawin itu mereka akan memperoleh kebahagian dari pada ketika masih sendiri. Kebahagian akan tercapai kalau rumah tangga berjalan harmonis. Bila rumah tangga tidak harmonis, bukan kebahagian yang diperoleh, melainkan neraka dunialah yang menyiksanya. Mereka yang hidup bebas seperti burung yang terbang diangkasa. Kegagalan tidak akan terjadi  kalau mereka memperhatikan dua masalah yaitu penentuan jodoh dan pembinaan Hubungan dalam keluarga. Sitti Nurbaya menyampaikannya secara terpisah pertama kepada Samsulbahri, yang kedua kepada Halimah. Menurut Siti Nurbaya,orang tua pada zaman itu ikut menentukan keberhasilan rumah tangga anak.Umumnya orang tua menjodohkan anaknya dengan laki-laki yang belum dikenalnya,belum tentu sianak mencintai laki-laki tersebut.Orang tua mengetahui dan mengenal anaknya tetapi anaknya lebih kenal dirinya sendiri.Oleh karena itu pandangan bahwa orang tua mengetahui segala hal tentang anaknya harus diubah. Ibu-bapak dan sanak saudara pun tidak boleh lagi memaksa anak untuk kawin tanpa mengindahkan kehendak,kesukaan,umur,kepandaian,tabiat dan kelakuan anak.
Sebelum menikahkan sianak orang tua terlebh dahulu menanyakan kepada anak. Apakah ia sanggup berumah tangga. Karena sianak mempunyai perasaan, yang harus dihargai orang tua. Bila orang tua tidak bisa menghargai anaknya sendiri, bagaimana menantu nya dan masyarakat akan menghargainya juga? Perempuan tidak akan bersanding dengan laki-laki jika perempuan belum tahu dengan harga dirinya. Sesuia  dengan mudha hari (1995:37) bahwa anak berhak menentukan masa depannya sendiri. Termasuk hal nya jodoh dan kapan ia akan kawin. Ketika orang tua akan menikahkan si anak, orang tua harus tahu dulu tentang empat hal. Pertama sianak tidak boleh dinikahkan pada usia muda. Karena akan merusak rumah tangganya kelak dengan pasangannya . Karena dimasa muda sianak harusnya sekolah dulu .Menurut Sitti Nurbaya anak perempuan tidak baik dinikahkan sebelum ia berumur dua puluh tahun .Karena makin tua makin baik. Karena orang berpendapat perempuan yang tidak kawin muda dianggap aib. Padahal anggapan itu salah dan harus diubah .
Kedua, orang tua harus bertanya kepada anaknya, apakah ia sudah siap untuk kawin atau belum.Kalau sianak tidak mau kawin jangan dipaksa. Karena bisa membuat rumah tangga nya dikemudian hari akan hancur. Karena sianak mempunyai alasan kenapa ia tidak mau kawin. Karena sianak masih ingin bebas dan ia juga mempunyai cita-cita yang harus dicapai .
Ketiga, jika orang tua menjodohkan anak nya harusnya sianak tahu dan siapa laki-laki yang di jodohkan untuknya. Menurutnya jodoh yang terbaik ialah laki-laki yang ai cari sendiri. Hal ini bukan berarti sianak bebas mencari jodoh nya sendiri melain kan untuk memberikan kesempatan kepada sianak. Apa bila orang tua kawahtir sianak salah memilih jodoh sebaik-baiknya.tetapi orang tua menyesuaikan dengan selera sianak.sebaik sebelum ia di nikahkan lebih baik di pertemukan terlebih dahulu. Katakana kepada sianak bahwa cinta akan datang setelah ia kawin. Hal ini tidak selamanya menjadi kenyataan bukti nya  Nurbaya  yang telah menikah dengan Datuk Meringgih tidak bisa mencintainya.
Keempat, umur sianak perempuan dengan calon suaminya harus berpadanan: sebaya, lebih tua laki-laki sedikit dari perempuan. Asalkan tidak terlalu jauh bedanya contohnya laki-laki 50 dan perempuan 20 tahun. Ketidak puasan biasa nya menjadi pemicu untuk berpaling kepada orang lain yang sebaya dangan nya. lagi pula tua akan merasa malu kalau jodoh nya terlalu besar perbedaan umurnya dan ia akan menjadi omongan masyarakat.
Orang tua tentunya berlainan pikiran, kemauan, kesukaan, kelakuan, tabiat dan kepandaian nya dangan anak muda. yang tua cenderung serius dan giat mengumpulkan uang, dan yang muda masih suka bersenang-senang. Jika yang seorang pandai dan lain nya bodoh tentunya tidak dapat bersanding dan bercakap-cakap dalam berbagai hal, bakan kadang-kadang yang pandai menjadi sombong. Selain itu, kekayaan, rupa, dan bangsa juga harus diperhatikan sebab yang berbangsa tinggi, kaya dan rupawan dikawatirkan akan menghinakan yang miskin, tidak berbangsa dan tidak rupawan.
Demikianlah, tidak muda mencari jodoh yang sejoli. perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting dan tidak boleh dipandang muda, apalagi dianggap remeh. Kesenangan dan keselamatan berumah tangga hanya dapat di peroleh dialah laki-laki dan perempuan dapat bersetujuan dalam segala hal. jika demikian, rumah tangga akan menjadi surga dunia yang mendatangkan kesukaan dan kasih sayang selama-lamanya. sebalik, jika segalanya tidak bersetujuan rumah tangga akan menjadi neraka jahanam selalu menimbulkan perselisihan, kebencian dan kesedihan, bahkan disudahi dengan perceraian.
Samsulbahri berpendapat bahwa suami akan sangat bahagia apabila sesempai dirumah, pulang kerja, didapatinya penglipur hati sehingga terobati lah kelelahan nya, dan esok hari akan dapat bekerja lagi dengan riang hati. pekerjaan tidak terasa berat, badah tetap sehat, dan panjang pula umurnya. Jika tidak demikian, sensaralah kehidupan nya. pekerjaan sudah bera,dirumah bertemu dengan hal-hal yang tidak mengenakan pula sehingga tidak mengheran kan jika banyak laki-laki  yang tidak betah dirumah. inilah yang sering menjadikan laki-laki itu jahat, bengis, dan tidak senonoh perbuatan nya.
Daftar  Pustaka

Rusli,  Marah. 1922. Sitti  Nurbaya. Jakarta: Balai Pustaka
Novita, Dian.2008. Analisis Feminisme Novel Layar Terkembang. Padang: Universitas Negeri Padang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar